Manado – GlobalNewsNusantara.ID | Persidangan kasus tanah dengan terdakwa Margareta Makalew kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Manado, Senin (15/09/2025). Sidang kedua yang menarik perhatian publik ini dipimpin langsung oleh Ketua Majelis Hakim Yance Patiran, dengan hakim anggota Mariani dan Ronald Masang.
Kuasa hukum terdakwa, Sastrawan Paparang, SH., MH., bersama Hanafi Saleh, SH., tampil vokal membantah dalil Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait bukti berita acara eksekusi tanah yang rencananya akan diajukan di sidang berikutnya.
Menurut Sastrawan, bukti tersebut sebenarnya sudah pernah dipertimbangkan dalam putusan perdata nomor 559, dan dalam amar putusan itu sudah jelas disebutkan status tanah yang menjadi objek sengketa. “Itu sudah terang benderang secara hukum, sehingga akan kami ajukan kembali sebagai bukti tambahan,” tegas Sastrawan di hadapan majelis. Saksi Dihadirkan, Pengacara Layangkan Protes
Dalam sidang ini, tiga saksi dihadirkan oleh JPU Kejati Sulut (Lily Muaya, SH. dan Laura Tombokan, SH.), yakni:
Valentino Boyo alias Tino – karyawan swasta asal Jakarta.
Rimbet Sengken Rotinsulu – pensiunan PNS sekaligus kakak terdakwa Margareta.
Marie Wakari.
Begitu saksi Rimbet Rotinsulu diperkenalkan, pengacara Sastrawan langsung melayangkan protes karena memiliki hubungan keluarga dengan terdakwa. Majelis hakim pun sempat bermusyawarah, namun akhirnya memutuskan tetap mengambil sumpah dan janji terhadap saksi. Kesaksian Valentino Boyo: “Ada Baliho di Atas Tanah Itu”
Saksi pertama, Valentino Boyo alias Tino, menyampaikan kesaksiannya dengan lantang. Ia mengaku pernah melihat sebuah baliho dipasang di area tanah yang kini diklaim sebagai milik keluarga Budi Gunawan, tempat dirinya bekerja sebagai sopir.
Menurut Tino, terdakwa Margareta berulang kali menyampaikan bahwa tanah tersebut adalah miliknya yang “dirampas” oleh keluarga Gunawan. Namun, ketika JPU bertanya apakah saksi mengetahui adanya eksekusi resmi atas tanah tersebut, Tino mengaku tidak tahu.
Lebih jauh, Tino juga menyinggung bahwa ayahnya yang pernah menjabat sebagai kepala desa pernah mengatakan tanah keluarga Margareta sudah dijual sejak lama. “Setahu saya, tanah itu sudah dieksekusi tahun 1977,” ungkap Tino, yang langsung mendapat sanggahan keras dari kuasa hukum Hanafi Saleh. Perdebatan Panas Soal Bukti Tanah Asli dan Palsu
Ketika JPU mempertanyakan apakah saksi bisa menunjukkan bukti surat tanah asli maupun palsu, Sastrawan Paparang langsung bereaksi keras. “Tidak bisa serta-merta menyebut palsu atau asli tanpa pembanding. Itu harus diuji dulu secara hukum,” protes Sastrawan.
Sementara itu, saksi lainnya menyampaikan bahwa tanah yang disengketakan sejatinya sudah dijual oleh keluarga Margareta kepada keluarga Ko Dharma Gunawan, sehingga menurutnya tidak ada lagi masalah. Namun, Sastrawan menilai keterangan saksi penuh kejanggalan. Kuasa Hukum Tegaskan Pasal 263 KUHP “Cangkokan”
Hanafi Saleh dengan lantang menilai bahwa pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat yang dituduhkan kepada Margareta hanyalah “pasal cangkokan”. “Perkara pokok yang sebenarnya adalah penyerobotan tanah, bukan pemalsuan surat. Karena itu, tuduhan pemalsuan surat jelas dipaksakan,” tegas Hanafi.(Kif)