Bolsel – GlobalNewsNusantara.ID — Malam itu, napasnya tersengal-sengal. Revan Kurniawan Santoso (20) atau akrab dipanggil Aan, bukan menghembuskan napas terakhir di pangkuan ibunya, melainkan di atas ranjang rumah sakit dengan luka penuh misteri. Dadanya sesak, tulang rusuknya diduga retak, dan tubuhnya penuh lebam setelah 63 hari mendekam di balik jeruji tahanan Polres Bolsel.
Padahal, Aan bukan penjahat kelas kakap. Ia hanya ditahan karena kasus perkelahian di sebuah konser Drag Race di Desa Sondana, sejak 19 Mei 2025. Namun sejak malam penangkapan itu, hidupnya berubah jadi neraka. “Dipukul, Ditendang, Dihantam Pipa Besi”
Kepada keluarga, Aan sempat berbisik lirih tentang derita yang ia alami. Tubuhnya dipukul tanpa ampun, pahanya dihantam dengan pipa besi, dan dadanya dihajar hingga sulit bernapas. “Jangan pernah buka suara, kalau tidak ancamannya bertambah,” begitu pengakuannya.
Namun sebelum maut menjemput, Aan memilih membuka rahasia gelap di balik jeruji. Ia menyebut nama-nama pelaku, cara penyiksaan, hingga dugaan keterlibatan Kasat Reskrim Polres Bolsel, Iptu Dedy Matahari. Rontgen Tak Bisa Bohong
Hasil rontgen di RS Monompia, Kotamobagu, memperlihatkan dugaan patah tulang pada tubuhnya. Bukannya dirawat intensif, Aan justru dipaksa kembali ke sel. Ia menahan sakit luar biasa, hingga akhirnya nyawanya benar-benar padam. Jeritan Keluarga: “Kami Hanya Minta Keadilan!”
Keluarga Aan kini resmi melapor ke SPKT Polres Bolsel dengan membawa bukti berupa rekaman suara dan surat pengakuan terakhir korban. “Kami tidak ingin ada Aan lain yang bernasib sama. Keadilan harus ditegakkan, meski pelakunya adalah oknum aparat,” tegas keluarga dengan suara bergetar. Pertanyaan Publik yang Mengguncang!
Kasus ini langsung memantik kemarahan publik. Pertanyaan pun bergulir deras di jagat maya:
Apa arti hukum bila oknum penegak hukum justru menjadi algojo?
Apakah nyawa manusia bisa diperlakukan semurah itu?
Sampai kapan ruang tahanan jadi tempat penyiksaan, bukan pembinaan?
Kematian yang Menguji Nurani Bangsa
Aan memang telah tiada, tetapi derita dan jeritannya menggema ke luar sel. Kasus ini bukan hanya soal seorang anak muda yang mati sia-sia, melainkan tentang wajah penegakan hukum di Indonesia.
Selama publik diam, selama aparat yang diduga terlibat dibiarkan melenggang bebas, maka jeruji besi itu akan terus jadi ruang gelap penyiksaan.
Kini, mata publik menanti: apakah kasus ini benar-benar diusut tuntas, atau akan terkubur bersama jasad seorang anak muda bernama Aan.
(Kif/Redaksi GlobalNewsNusantara.ID)